darulmaarif.net – Indramayu, 12 Agustus 2025 | 10.00 WIB
Penulis: Ust. Ade Reza Muhammad, Lc.*
Di tengah derasnya arus pemikiran manusia, ada yang berjalan hanya dengan kompas akalnya, ada pula yang melangkah hanya berbekal teks syariat tanpa renungan mendalam. Keduanya sering kali terjebak—yang pertama tersesat dalam kilauan logika semu, yang kedua terpaku pada huruf tanpa menangkap ruhnya.
Padahal, para ulama Ahlus Sunnah mengajarkan bahwa akal dan syariat bukanlah dua jalan yang berseberangan, melainkan dua cahaya yang saling menguatkan. Akal adalah lentera yang menuntun pandangan, sementara syariat adalah matahari yang memancarkan kebenaran hakiki. Saat keduanya berpadu, lahirlah “cahaya di atas cahaya” yang tak hanya menerangi jalan, tetapi juga mengungkap hakikat tujuan hidup manusia. Inilah warisan pemikiran yang membedakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari aliran lain—mampu menyatukan kejernihan nalar dan kemurnian wahyu dalam satu tarikan nafas keimanan.
Tauhid Sebagai Inti Ajaran Islam
Tauhid merupakan inti ajaran Islam yang menegaskan bahwa Alloh adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.
Sementara itu, akal adalah anugerah besar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dalam Islam, tauhid dan akal tidak dipisahkan. Keduanya berjalan seiring: tauhid memberi arah, akal memberi penalaran.
Harmoni keduanya membentuk pemahaman yang kokoh tentang keesaan Alloh, bukan sekadar keyakinan emosional, tetapi keyakinan yang didasari hujjah rasional.
Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia menggunakan akalnya untuk mengenal Alloh.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 164, Alloh SWT berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang Alloh turunkan dari langit berupa air, lalu dengan itu Dia hidupkan bumi setelah mati, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin, dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda bagi kaum yang berakal.” (QS. Al-Baqarah Ayat 164)
Ayat ini menegaskan bahwa tanda-tanda keberadaan dan keesaan Alloh dapat dilihat dan dipahami melalui fenomena alam jika akal digunakan dengan benar.
Syekh Nawawi mengenai ayat 164 di atas menjelaskan, ada delapan tanda yang dapat dijadikan bukti keesaan Alloh.
Bumi dan langit. Syekh Nawawi menjelaskan bahwa langit menjadi tanda kekuasaan-Nya karena langit bisa tinggi berdiri tanpa tiang penyangga. Begitu juga Matahari, Bulan, dan Bintang. Sedangkan bumi menjadi tempat yang luas terdiri dari air dan hamparan daratan berupa pegunungan, lautan, tambang-tambang, material, sungai-sungai, pepohonan dan buah-buahan yang menjadi tanda kekuasaan-Nya.
Malam dan Siang. Tanda kekuasaan Alloh pada keduanya dapat ditemukan dalam beberapa hal. Keduanya saling berganti datang dan pergi satu sama lain. Perbedaan yang sering terjadi di antara keduanya dalam rentang panjang-pendek dan tambah-kurangnya waktu keduanya.
Selain itu, malam dengan kegelapannya sebagai waktu beristirahat, dan terangnya siang sebagai penata ruang mencari nafkah bagi manusia.
Perahu-perahu besar yang dinaikkan ke dalamnya muatan-muatan berat. Bagaimana Alloh menundukkan laut dan angin agar perahu-perahu itu dapat berjalan sampai tujuan merupakan tanda kekuasaan Allah.
Kekuatan hati para pengguna perahu. Perahu-perahu itu membawa juga orang-orang dengan tujuan masing-masing. Syekh Nawawi menjelaskan, salah satu tujuannya adalah berdagang. Tanda kekuasaan Alloh di dalamnya dapat dilihat dari bagaimana Alloh memberi kekuatan kepada hati mereka dalam mengarungi lautan untuk menunaikan hajat masing-masing sampai pada tujuan.
Hujan dari langit. Dengan turunnya hujan Alloh menjadikannya sebagai sebab kehidupan seluruh makhluk yang ada di muka bumi, baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Alloh juga menurunkannya sesuai kadar kebutuhan makhluk-Nya serta menyesuaikan tempatnya.
Tersebarnya makhluk hidup ke seluruh muka bumi. Tanda kekuasaan Alloh di dalamnya dapat dilihat dari bagaimana Alloh dalam contoh manusia sebagai objek dengan satu sumber yakni Adam menurunkan banyak jenis manusia dengan perbedaan bentuk, warna kulit, sifat, watak, bahasa dan yang lainnya. Angin. Sebagai tanda kekuasaan Alloh, dapat dilihat dari bagaimana meskipun tak kasat mata, tidak dapat dilihat maupun dipegang, namun angin dengan kekuatannya bisa merobohkan bangunan maupun pepohonan. Dalam hal ini termasuk juga oksigen yang menjadi salah satu sumber kehidupan.
Jika Alloh menghilangkan barang sekejap oksigen di seluruh dunia niscaya akan luruh seluruh makhluk hidup di muka bumi. Mega. Mega yang membawa air dengan jumlah besar, kemudian luruh mengirim hujan ke lembah-lembah, itu berjalan tanpa adanya penyangga. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil, juz I, halaman 37).
Rosululloh SAW bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِي خَلْقِ الله وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِي اللهِ
Artinya: “Berfikirlah tentang ciptaan Alloh, dan janganlah kalian berfikir tentang Dzat Alloh.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah)
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam mendorong penggunaan akal untuk merenungkan ciptaan-Nya, karena dari perenungan itu lahirlah kesadaran akan keesaan Alloh ‘Azza wa Jalla. Namun, akal memiliki batas: ia tidak mampu memahami hakikat Dzat Alloh secara total.
Akal: Jalan Cahaya
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali menjelaskan dalam Ihya’ Ulumuddin:
“Akal ibarat cahaya, dan syariat ibarat matahari. Akal tanpa syariat seperti mata yang sehat di tengah gelap gulita, sedangkan syariat tanpa akal seperti matahari yang terbit di hadapan orang buta.”
Akal ibarat cahaya yang menerangi jalan, sedangkan syariat ibarat matahari yang menjadi sumber terang itu sendiri. Cahaya akal tanpa sinar matahari syariat hanyalah redup dan terbatas, mudah tertipu oleh bayangan dan fatamorgana. Begitu pula syariat tanpa daya tangkap akal bagaikan cahaya matahari yang diabaikan oleh mata tertutup—keindahan dan kebenarannya takkan terserap sepenuhnya. Dalil para ulama mengajarkan bahwa ketika akal dan syariat berpadu, lahirlah “cahaya di atas cahaya” yang memandu manusia pada kebenaran sejati. Dalam kitab Al-Iqtishod fil I’tiqod, Hal. 10, Imam Al-Ghozali menjelaskan:
فالعقل مع الشرع نور على نور، والملاحظ بالعين العور لأحدهما على الخصوص متدل بحبل غرور. وسيتضح لك أيها المشوق إلى الاطلاع على قواعد عقائد أهل السنة، المقترح تحقيقها بقواطع الأدلة، أنه لم يستأثر بالتوفيق للجمع بين الشرع والتحقيق فريق سوى هذا الفريق
Artinya: “Maka akal yang berpadu dengan syariat adalah cahaya di atas cahaya, sedangkan orang yang hanya memperhatikan salah satunya saja—bagaikan orang bermata satu—sesungguhnya ia bergantung pada tali tipuan. Dan akan jelas bagimu, wahai orang yang rindu untuk mengetahui kaidah-kaidah akidah Ahlus Sunnah yang dirumuskan dengan pembuktian yang pasti, bahwa tidak ada kelompok yang dianugerahi taufik untuk memadukan syariat dan pembuktian hakikat kecuali kelompok ini.” (Al-Iqtishod fil I’tiqod, Hal. 10, [Maktabah Syamilah])
Pernyataan ini menegaskan pentingnya harmoni antara tauhid dan akal. Tauhid memberikan kebenaran absolut, akal memprosesnya menjadi keyakinan yang kokoh.
Harmoni ini terjadi ketika akal digunakan untuk:
Menelaah dalil naqli (wahyu) – memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan keesaan Alloh.
Mengamati dalil aqli (akal) – mempelajari fenomena alam dan sejarah sebagai bukti kekuasaan Alloh. Menyatukan iman dan ilmu – menjadikan ilmu pengetahuan sebagai penguat keimanan.
Al-Qur’an tidak pernah menganggap akal sebagai penghalang iman, tetapi justru sebagai penguat. Akal yang lurus akan sampai pada pengakuan bahwa hanya Alloh yang layak disembah.
Tauhid dan akal dalam Islam tidak saling bertentangan, melainkan saling melengkapi. Tauhid memberikan arah yang benar bagi akal, sementara akal memperkokoh keyakinan kepada Alloh melalui penalaran dan pengamatan. Dengan harmoni ini, iman seorang Muslim bukan hanya bersandar pada tradisi atau perasaan, tetapi juga pada hujjah rasional yang kokoh.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
*Lulusan Al-Azhar, Kairo-Mesir Jurusan Sarjana Ilmu Tafsir
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.