darulmaarif.net – Indramayu, 22 Juli 2025 | 10.00 WIB
“Bukan lagi soal peniruan, penggandaan, atau bahkan parodi. Ini adalah soal menggantikan tanda-tanda dari realitas dengan realitas itu sendiri.” (Baudrillard, 1981, Simulacra and Simulation)
Di tengah derasnya arus media sosial dan budaya populer, narasi tentang tubuh manusia kini telah berubah menjadi panggung penuh tafsir. Kita menyaksikan bagaimana tren body positivity—sebuah gerakan penerimaan diri dan tubuh—meruak di tengah masyarakat digital. Slogan seperti “my body, my choice” atau “every body is beautiful” menjamur, menyuarakan pembebasan dari standar kecantikan mainstream.
Namun, dalam gemuruh puja-puji terhadap keberagaman bentuk tubuh, muncul pula kritik bahwa gerakan ini berpotensi melahirkan penerimaan tanpa batas: bahwa segala bentuk tubuh, terlepas dari konteks kesehatan dan moral, harus dirayakan tanpa kritik.
Lantas, bagaimana Islam memandang tubuh manusia? Apakah tubuh semata ruang estetika, atau ia menyimpan nilai ibadah dan amanah yang dalam?
Tubuh dalam Budaya Pop: Antara Estetika dan Komodifikasi
Budaya pop membentuk standar kecantikan yang sangat kuat. Tubuh ideal direpresentasikan lewat wajah simetris, kulit cerah, tubuh langsing, tinggi semampai, atau seksi dan montok. Di baliknya, kapitalisme bekerja: industri diet, kosmetik, operasi plastik, dan fashion tumbuh subur di atas rasa ketidakpuasan manusia menerima atas tubuhnya sendiri.
Sosiolog Jean Baudrillard menyebut ini sebagai “hiper-realitas”—ketika yang palsu menjadi acuan realita. Tubuh bukan lagi ruang kehidupan, tapi simbol sosial yang harus ditampilkan, diedit, dan diperjualbelikan sebagai komoditas citra di ruang sosial media.
Islam dan Tubuh: Dari Amanah hingga Estetika Spiritual
Islam menempatkan tubuh bukan sekadar objek estetika, melainkan amanah yang harus dijaga. Dalam QS. Al-Baqoroh Ayat 195, Alloh berfirman:
وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Alloh, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqoroh Ayat 195)
Ini adalah dasar dari kesadaran tubuh dalam Islam: ia bukan milik mutlak individu, tetapi titipan dari Alloh SWT yang harus dirawat, bukan disakiti atau disia-siakan.
Dalam konsep Maqashid Syariah, salah satu tujuan syariat Islam adalah hifdzun nafs (menjaga jiwa dan raga). Artinya, tubuh bukan hanya boleh dihormati, tapi harus dijaga dari kerusakan, baik karena kelalaian maupun karena eksploitasi sosial dan ekonomi.
Body Positivity dalam Timbangan Syariat Islam
Islam sangat menghargai penerimaan diri (ridlo terhadap ciptaan Alloh), tetapi bukan dalam pengertian membiarkan tubuh tanpa tanggung jawab. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
Artinya: “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Ayat dan hadits diatas menegaskan bahwa Islam mendukung penghormatan terhadap tubuh—baik yang gemuk, kurus, berkulit gelap maupun terang—sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh. Namun, Islam juga memberi batas: tubuh tidak boleh menjadi tuhan kecil yang diperturutkan, tidak pula alat kesombongan atau pelampiasan nafsu.
Jadi, body positivity versi Islam adalah syukur yang bertanggung jawab, bukan glorifikasi tanpa arah.
Estetika dalam Islam: Keseimbangan antara Luar dan Dalam
Islam tidak menafikan keindahan fisik. Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
Artinya: “Sesungguhnya Alloh itu Maha Indah dan, mencintai keindahan.” (HR. Imam Muslim)
Namun, estetika dalam Islam tidak berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan akhlak, kesehatan, dan ibadah. Kecantikan lahiriah bukan tujuan akhir, melainkan cerminan ketakwaan dan kerapian diri sebagai wujud syukur kepada Alloh SWT.
Berhias (tazayyun), berpakaian indah, dan merawat diri adalah sunnah, tapi tetap dalam koridor adab dan niat yang lurus. Islam tidak membenci tubuh, tapi juga tidak mendewakannya.
Syariat Tubuh adalah Syariat Kehormatan
Gerakan body positivity membawa nilai positif: menghentikan ejekan terhadap tubuh, menghargai keragaman, dan membebaskan manusia dari tekanan standar kecantikan. Namun, Islam mengajak kita melampaui itu. Bahwa tubuh bukan hanya untuk diterima, tetapi juga dirawat, dijaga, dan disucikan.
Dalam Islam, tubuh adalah ladang ibadah. Ia adalah perahu ruh, bukan sekadar penampilan lahiriah an sich. Maka, setiap kita bertanggung jawab atasnya: bukan untuk mengabdi pada budaya pop, tapi kepada Sang Pencipta yang menitipkannya.
Ketika dunia menilai dari ukuran pinggang, warna kulit, dan bentuk wajah, Islam datang dengan bahasa yang lebih dalam: ketakwaan, akhlak, dan amanah. Karena sungguh, keindahan sejati bukan tentang apa yang terlihat di cermin, tapi tentang apa yang dipantulkan hati ke langit.
Maka bersyukurlah atas tubuhmu. Rawatlah ia dengan penuh cinta, bukan karena standar orang lain, tapi karena ia adalah milik Tuhan yang mempercayakanmu menjaganya.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.