darulmaarif.net – Indramayu, 28 Mei 2025 | 16.00 WIB
“Kecepatan bukan hanya soal gerak fisik, tetapi juga cara berpikir, cara berkomunikasi, dan bahkan cara memahami ilmu.”
— Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Berlari
Dalam bukunya Dunia yang Berlari: Dromologi, Implosi, Fantasmagoria, Yasraf Amir Piliang menyuguhkan kritik tajam terhadap realitas dunia kontemporer yang bergerak dalam kecepatan luar biasa—sebuah dunia yang tak lagi stabil, yang berlari, dan pada titik tertentu “meledak dari dalam” (implosi) oleh kepadatan informasi dan citra digital yang kian tak terbendung. Yasraf menawarkan kerangka filsafat sosial kritis yang sangat relevan untuk membaca dinamika perubahan zaman, termasuk di dalamnya: dunia pendidikan Islam, khususnya pondok pesantren.
Di tengah derasnya arus digital dan kemajuan teknologi yang terus berlari, pesantren tetap berdiri sebagai benteng ilmu, akhlak, dan tradisi. Namun, di era di mana semua hal berlomba untuk menjadi cepat dan instan, muncul pertanyaan penting: apakah pesantren masih relevan? Dan bagaimana pesantren bisa menjawab tantangan zaman digital, termasuk kehadiran kecerdasan buatan (AI)?
Hari ini, pesantren tidak lagi hidup dalam ruang terpisah dari realitas global. Ia turut terdampak oleh “dromologi”—teori kecepatan dari Paul Virilio yang diangkat Yasraf—di mana teknologi, khususnya Artificial Intelligence (AI), menjadi kekuatan pendorong baru yang mengubah ritme kehidupan santri, kyai, hingga ustadz.
Implosi Realitas di Dunia Pesantren
Yasraf berbicara tentang implosi realitas sebagai kondisi di mana batas antara yang nyata dan maya menjadi kabur. Di dunia pesantren hari ini, fenomena ini terlihat dari masuknya media sosial, e-learning, hingga AI dalam kegiatan pembelajaran. Santri kini tak hanya belajar dari kitab kuning dan sorogan atau bandongan, tapi juga dari YouTube, teknologi AI seperti ChatGPT, Notebook LM, Gemini, DeepSeek, Grok, dan platform belajar digital lainnya.
Namun, bila tidak dikawal dengan hikmah, kecepatan informasi ini dapat menimbulkan disorientasi makna. Teks-teks klasik bisa tertinggal dibaca jika kalah saing dengan konten TikTok yang cepat, visual, dan menghibur. Ini adalah bentuk dari “fantasmagoria”—realitas semu yang disulap jadi spektakuler, tapi hampa substansi.
Dromologi dan Akselerasi Pendidikan
Konsep dromologi atau filsafat kecepatan menyoroti bagaimana kecepatan mengubah struktur sosial, politik, dan budaya. Dalam konteks pesantren, kita bisa melihat:
- Akselerasi kurikulum dengan pembelajaran daring dan akses digital terhadap ratusan kitab dalam sekejap.
- Desentralisasi otoritas keilmuan, di mana santri bisa mengakses pendapat ulama dari seluruh dunia tanpa menunggu pengajian.
- Percepatan produksi fatwa dan konten agama, di mana ustadz dan kyai kini berlomba-lomba membuat konten dakwah instan di media sosial.
Ini kemudian menciptakan tekanan baru: bagaimana pesantren tetap menjaga kedalaman Agama (tafaqquh fid-Diin) di tengah percepatan akses informasi?
AI dan Masa Depan Pesantren
Kecerdasan buatan telah masuk ke dunia pendidikan Islam. Beberapa pesantren progresif telah menggunakan AI untuk:
- Membuat chatbot fatwa berbasis madzhab Syafi’i.
- Menganalisis kitab kuning* dengan bantuan OCR dan NLP.
- Mendeteksi plagiarisme dalam karya tulis (taqrirot) santri.
- Membangun kurikulum adaptif berbasis preferensi belajar santri.
Namun, semua itu membawa tantangan etis dan epistemologis. Segumuk pertanyaan kemudian mencuat:
Apakah AI akan menggantikan peran guru, ustadz atau kyai? Siapa yang dapat memastikan kebenaran tafsir digital? Apakah pemahaman keilmuan akan tetap rasikh bila diajarkan oleh mesin? Pasalnya, AI tidak memiliki hikmah, sanad keilmuan, akhlak, dan ruh ilmu—hal-hal yang hanya bisa diwariskan dari guru kepada murid secara langsung (talaqqi).
Kesimpulan: Relevansi Gagasan Yasraf bagi Pesantren
Dunia yang Berlari bukan hanya tentang dunia Barat atau kota modern. Ia berbicara juga kepada kita: dunia pesantren, yang hari ini berlari mengejar kcepetana zaman. Yasraf mengingatkan bahwa dalam lari tersebut, kita bisa kehilangan substansi jika tidak berhenti sejenak untuk merenung, kontemplasi, atau dalam bahasa santri: muhasabatun nafs.
Pesantren harus bersikap holistik dan sistemik, dengan tetap memeluk teknologi tanpa meninggalkan akar tradisi. AI bisa menjadi alat tafwid, bukan tajrid (penghilangan). Dunia boleh berlari, tapi pesantren harus menjadi pusat gravitasi ilmu yang mengakar kuat sambil tetap lentur membaca perubahan zaman.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.