darulmaarif.net – Indramayu, 25 Juli 2025 | 08.00 WIB
Penulis: Usth. Syahfa Aidillah
Beberapa waktu terakhir, ruang publik kita kembali diguncang oleh kabar memilukan warganet Tik-tok: “wafatnya seorang santri dalam dugaan tindakan kekerasan salah satu Pondok Pesantren di Bandung.
Insiden bermula dari dugaan pelecehan terhadap santriwati FF (20 tahun) oleh korban A, yang kemudian dipergoki oleh FH. Saat A berusaha kabur, terjadi pertikaian, dan FH membacoknya dengan golok. A sempat dilarikan ke rumah sakit namun akhirnya meninggal dunia. FH langsung menyerahkan diri ke polisi. Kasus ini sedang ditangani oleh Polresta Bandung.
Dalam peristiwa tersebut, seorang santri berinisial A (14 tahun) meninggal dunia usai dibacok oleh FH (23 tahun).
Isu ini bukan hanya tentang siapa pelaku dan siapa korban—melainkan tentang luka yang lebih dalam: fitrah kemanusiaan yang tercabik di tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi pertumbuhan jiwa anak-anak.
Ketika pendidikan berubah menjadi tekanan, dan kelembutan digantikan oleh ketakutan, maka saat itulah pesantren kehilangan wajah sejatinya: “sebagai taman ruhani, bukan benteng kekuasaan”.
Fitrah Manusia dalam Psikologi Islam: Tumbuh Bukan Ditaklukkan
Dalam khazanah psikologi Islam, manusia adalah makhluk yang dibekali fitrah, yaitu potensi bawaan untuk mencintai kebaikan, mencari makna, dan tumbuh dalam kejujuran. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ
Artinya: “(Tetaplah di atas) fitrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (QS. Ar-Rum Ayat 30)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa hati manusia diciptakan dalam keadaan bersih, namun bisa ternoda oleh lingkungan dan kekuasaan yang zalim. Oleh karena itu, pendidikan bukan untuk menundukkan fitrah, melainkan untuk merawat dan membimbingnya dengan kasih.
قال الغزالي:
الطفل أمانة عند والديه، وقلبه الطاهر جوهرة نفيسة، خالية من كل نقش وصورة، وهو قابل لكل ما نقش ومائل إلى كل ما يمال إليه.
Artinya: “Anak adalah amanah, hatinya bagaikan permata yang bersih, ia akan condong kepada apa yang dicondongkan kepadanya.” (Ihya Ulumiddin, Jilid III, Bab Adab Mendidik Anak)
Ketika Kekerasan Dibenarkan Atas Nama Pendidikan
Dalam psikologi kontemporer, gejala pembenaran kekerasan oleh otoritas disebut sebagai moral disengagement (Bandura, 2002). Ini adalah mekanisme psikologis di mana seseorang membenarkan tindakan salah karena merasa “berhak” atau “untuk mendidik”.
Kondisi ini sering ditemukan dalam relasi kuasa vertikal—antara guru dan murid, senior dan junior—terutama ketika tidak ada sistem pelaporan atau ruang aman bagi para korban.
Dalam banyak pesantren, relasi semacam ini kadang dibiarkan tanpa koreksi. Bahkan, kekerasan menjadi bagian dari “tradisi pendidikan”. Padahal, ajaran Islam sangat menjunjung kelembutan dalam mendidik.
Islam Mengajarkan Kelembutan, Bukan Kekerasan
Rosululloh SAW adalah teladan agung, bapak pendidikan sepanjang zaman. Dalam setiap laku dan sabdanya, tidak pernah kita dapati kekerasan sebagai metode pengajaran. Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
Artinya: “Sesungguhnya Alloh Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menekankan bahwa kelembutan adalah kunci keberhasilan dakwah dan pendidikan, serta pertanda kebeningan jiwa seorang guru.
Saatnya Pesantren Menjadi Ruang Pemulihan, Bukan Penaklukan
Tragedi kemanusiaan yang menimpa santri ini harus menjadi momentum muhasabah kolektif. Kita tidak butuh kambing hitam. Yang kita butuhkan adalah transformasi nilai dan sistem.
Pesantren bukan hanya tempat menghafal kitab, tapi tempat merawat hati dan membangun karakter. Ia adalah taman jiwa, bukan kubu kekuasaan.
Berikut beberapa langkah konkret yang bisa diterapkan pesantren agar lebih ramah fitrah dan sesuai nilai Islam:
Langkah Reflektif Menuju Pesantren Ramah Jiwa
- Membangun Sistem Pengaduan yang Aman dan Netral
Memberi ruang aman bagi santri untuk menyampaikan kekerasan yang dialami tanpa takut diintimidasi.
- Pelatihan Psikologi dan Etika Pendidikan Bagi Pengasuh
Menginternalisasi pendekatan tarbiyah bi al-hilm (mendidik dengan kesabaran), sebagaimana Nabi lakukan.
- Menghidupkan Budaya Lembut dan Empatik
Jadikan kelembutan dan kasih sayang sebagai indikator kualitas pengasuhan, bukan kelemahan.
- Melibatkan Alumni dan Orang Tua dalam Evaluasi
Suara dari luar penting sebagai penyeimbang dan pengingat. Pesantren bukan lembaga tertutup.
Menolak Generalisasi, Mendorong Transformasi
Peristiwa memilukan ini bukan alasan untuk mengecam semua pesantren. Tapi juga bukan alasan untuk diam. Kita butuh pesantren yang tidak hanya mencetak hafidz, tapi juga membentuk manusia seutuhnya—dengan hati yang hidup, bukan yang dibungkam.
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ
Artinya: “Orang kuat bukan yang bisa mengalahkan lawan, tapi yang mampu menguasai dirinya saat marah.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Pendidikan Adalah Kasih yang Menumbuhkan
Jika pendidikan adalah jalan suci menuju pencerahan, maka kekerasan adalah duri yang menghambatnya. Mari kita kembalikan ruh pesantren sebagai taman ruhani, tempat yang ramah fitrah dan aman bagi tumbuhnya jiwa-jiwa muda.
“Bukan Islam yang kasar, tapi tangan-tangan kita yang kadang lupa meneladani kelembutan-Nya.”
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.