darulmaarif.net – Indramayu, 28 Juli 2025 | 10.00 WIB
Di setiap zaman, umat manusia senantiasa menciptakan sistem nilai dan struktur makna yang kita kenal sebagai kebudayaan. Dalam dinamika sejarah panjang itu, kebudayaan bukan sekadar hasil cipta-rasa-karsa, tetapi sering kali berubah menjadi “agama-agama baru” dengan tuhan-tuhan yang tak lagi transenden, melainkan lahir dari dapur peradaban yang artifisial nan profan.
Seiring waktu, banyak dari nilai-nilai itu tidak hanya menjadi pedoman hidup, tetapi juga berubah menjadi objek penyembahan. Kapital—yang pada mulanya hanya alat tukar atau bentuk kekayaan—kini menjelma menjadi entitas yang diagungkan, dijaga, bahkan dituhankan.
Dari Tuhan Transenden ke Tuhan Historis
Erich Fromm, dalam karya-karyanya seperti The Sane Society, menjelaskan bahwa manusia modern telah mengganti Tuhan transenden (yang sakral dan spiritual) dengan “tuhan sejarah”—yakni segala sesuatu yang diciptakan manusia sendiri, lalu disakralkan oleh kesepakatan sosial dan budaya.
Konsep ini dekat dengan apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai simulacra—realitas semu yang telah menggantikan realitas sejati. Dalam masyarakat kontemporer, manusia tidak lagi menyembah Tuhan karena iman, melainkan menyembah simbol-simbol seperti uang, merk, status, dan kekuasaan.
Tuhan sejarah bukan hanya hadir dalam bentuk ideologis atau politis, tetapi juga sangat ekonomis. Di sinilah kapital mengambil peran sebagai entitas sakral baru: menjanjikan keselamatan duniawi, keamanan sosial, dan kepuasan spiritual palsu.
Kapital sebagai Agama Baru: Antara Logika Pasar dan Iman Konsumen
Kapital, atau modal dalam bentuk uang, kini tak hanya menjadi alat tukar, tetapi berubah menjadi pusat orientasi hidup manusia. Dalam masyarakat global saat ini, nilai kemanusiaan sering diukur dari kemampuan ekonomi. Status sosial, kebahagiaan, bahkan harga diri, sering kali ditentukan oleh seberapa besar kapital yang dimiliki.
Dalam konteks ini, Francis Fukuyama lewat The End of History and the Last Man menyatakan bahwa sejarah telah berakhir ketika kapitalisme liberal menang secara mutlak, dan manusia modern hidup di bawah rezim pasar yang absolut. Kemenangan kapital bukan hanya tentang ekonomi, tetapi tentang ideologi yang menyingkirkan agama, moralitas, dan komunitas.
Berbeda dari Marx yang mengkritik kapitalisme sebagai sistem eksploitasi kelas, atau Nietzsche yang mengumandangkan “kematian Tuhan”, realitas hari ini menunjukkan bahwa kapital bukan membunuh Tuhan, tetapi menggantikannya.
Kapital menjadi agama baru dengan dogma-dogma tersendiri: efisiensi, pertumbuhan, profit, dan konsumsi. Setiap hari, manusia modern menjalani ritual konsumtif, mengakses “madzhab-madzhab baru” lewat pusat perbelanjaan, aplikasi digital, dan iklan yang menawarkan surga instan dari berbagai pusat perbelanjaan.
Tuhan Kapital dalam Perspektif Filsafat Kontemporer
Slavoj Žižek, filsuf kontemporer asal Slovenia, secara satiris mengkritik logika kapitalisme global. Dalam banyak wawancaranya, ia menekankan bahwa manusia modern kini berada dalam ilusi kebebasan—padahal mereka telah menjadi budak sistem ekonomi global. Kapital bukan sekadar alat ekonomi, tetapi sistem penundukan psikologis dan ideologis.
Sementara itu, Byung-Chul Han dalam The Burnout Society menyoroti bagaimana masyarakat neoliberal tidak lagi ditekan secara eksternal, tetapi membebani diri sendiri untuk terus produktif dan kompetitif. Dalam sistem ini, kapital masuk ke relung terdalam eksistensi manusia dan mengubahnya menjadi mesin produksi nilai tukar.
Dengan kata lain, kapital telah menembus ruang batin manusia, mengambil alih fungsi religius yang dulunya ditempati Tuhan. Kapital memberikan rasa aman, menawarkan “keselamatan” dalam bentuk kemapanan, dan menciptakan komunitas konsumen yang patuh.
Menemukan Jalan Kritis: Kembali pada Spiritualitas yang Membebaskan
Namun demikian, tak semua manusia tunduk pada hegemoni kapital. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang diatur algoritma dan harga saham, masih banyak individu dan komunitas yang mencari makna hidup di luar sistem kapitalistik.
Mereka adalah para pencari spiritualitas yang otentik. Mereka membaca kembali agama bukan sebagai dogma, tetapi sebagai jalan pembebasan. Agama, dalam konteks ini, bukan sekadar doktrin ibadah, tapi resistensi terhadap dominasi kapital yang membekukan nurani.
Paulo Freire menyebutnya sebagai conscientization—kesadaran kritis yang membebaskan manusia dari struktur penindasan. Dalam dunia hari ini, penindasan itu bisa berbentuk ilusi kesejahteraan palsu yang ditawarkan kapital.
Saatnya Menyembah yang Layak Disembah
Kini, pertanyaannya adalah: apakah kita masih bisa membedakan mana yang patut disembah dan mana yang seharusnya menjadi alat?
Kapital adalah alat yang penting—tetapi bukan untuk disembah. Ketika ia menjadi tuhan baru dalam kehidupan, maka yang hilang bukan hanya spiritualitas, tapi juga kemanusiaan.
Kita butuh redefinisi nilai. Kita harus kembali menginsafi bahwa kehidupan terlalu suci untuk direduksi hanya dalam angka dan profit semata. Hanya dengan kesadaran kritis dan spiritualitas yang membumi, manusia bisa lepas dari jerat penyembahan terhadap kapital.
Dalam ajaran Islam, hidup yang sejati bukan diukur dari kelimpahan harta, tetapi dari ketundukan hati kepada Alloh SWT dan kebermanfaatan diri bagi sesama manusia. Al-Qur’an mengingatkan:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
Artinya: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada adzab yang keras serta ampunan dari Alloh dan keridlon-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya…” (QS. Al-Hadid Ayat 20)
Ayat ini menegaskan bahwa orientasi hidup yang hanya berpusat pada kapital hanyalah fatamorgana. Maka, kembali pada tauhid bukan hanya soal ibadah ritual formal, tetapi juga pembebasan spiritual dari jeratan nilai-nilai semu yang dituhankan. Dengan menyadari hal ini, manusia akan menemukan makna sejati hidup: bukan menjadi hamba kapital, melainkan menjadi hamba Tuhan yang bebas.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.